News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Benarkah Istri Dilarang Berpuasa Sunnah Tanpa Izin Suami? | Konsultasi Muslim

 


Islam adalah agama yang sempurna, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia diatur di dalam Islam. Tak terkecuali adab seorang istri kepada suaminya. Islam menganjurkan kepada seorang istri untuk meminta izin kepada suaminya ketika ingin melakukan sesuatu, seperti ingin bepergian (keluar rumah), baik ke rumah orang tuanya atau ke manapun, tak terkecuali ingin melakukan puasa sunnah sekalipun tetap meminta izin terlebih dahulu kepada seorang suami. Baik puasa sunnah Syawwal, puasa Senin Kamis, puasa Ayyamul Bidh dan puasa sunnah lainnya.

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya. Dan tidak halal bagi seorang wanita memasukkan seseorang ke rumahnya, kecuali atas izin suaminya. (HR. Bukhari, hadist no. 5195).

Imam Syihabuddin rohimahullah mengomentari hadist di atas sebagaimana disebutkan di dalam kitabnya Irsyadus Saari Lisyarhi Shahihil Bukhari :

لأن حقه في الاستمتاع بها في كل وقت، فلو كان مريضًا بحيث لا يستطيع الجماع أو مسافرًا جاز لها

Karena hak seorang suami menikmati rasa senangnya kepada istri setiap waktu. Maka jikalau suami sakit sedemikian rupa yang menyebabkan dia tidak mampu jima’ atau bepergian, maka boleh bagi seorang istri tersebut melaksanakan puasa sunnah. (Irsyadus Saari Lisyarhi Shahihil Bukhari, jilid 8 halaman 96-97).

Inilah alasan kenapa seorang istri dianjurkan untuk meminta izin ter;lebih dahulu apabila ingin melaksanakan puasa sunnah, karena dikhawatirkan tidak mampu melayani suami untuk melakukan jima’ ataupun kesenangan lainnya. Namun ketika suami sudah diberitahu, maka dia bisa lebih mengerti bahwa istrinya sedang puasa dan tidak mengajak kepada perbuatan yang bisa membatalkan puasa si istri seperti jima’ dan sebagainya.

Bagaimana jika suami tidak membolehkan puasa wajib seperti mengqadha puasa Ramadhan dan lainnya? Bolehkah diatati?

Imam As-Shon’ani rohimahullah berkata di dalam kitabnya Subulus Salam :

فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْوَفَاءَ بِحَقِّ الزَّوْجِ مِنْ التَّطَوُّعِ بِالصَّوْمِ وَأَمَّا رَمَضَانُ فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ وَإِنْ كَرِهَ الزَّوْجُ وَيُقَاسُ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ فَلَوْ صَامَتْ النَّفَلَ بِغَيْرِ إذْنِهِ كَانَتْ فَاعِلَةً لِمُحَرَّمٍ

Ini adalah dalil bahwa seorang istri harus loyalitas dalam memenuhi kewajiban suami dengan tidak berpuasa sunnah. Adapun puasa Ramadhan, maka melaksakannya adalah wajib, dan jika seorang suami tidak menyukainya, maka diqiyaskan kepada qadha puasa. Jika dia berpuasa sunnah tanpa izin suaminya, maka ketika dia taat pada perintah suaminya dan tidak mengerjakan puasa Ramadhan, maka tidak diperbolehkan. (Subulus Salam, jilid 1 halaman 585).

Artinya, segala sesuatu bisa selesai jika di musyawarahkan dan suami akan mengerti jika sang istri meminta izin untuk melaksanakan puasa sunnah. Lebih-lebih mengqadha puasa Ramadhan yang wajib dibayar. Suami akan mengerti keadaan ini bilamana si istri meminta izin terlebih dahulu.

Inilah indahnya Islam, mengajarkan nilai-nilai dan adab yang luhur kepada pemeluknya. Semua sudah diatur dan manusia hidup di dunia bukan terserah dia, namun berada dalam pengawasan agama. Siapa saja yang patuh, maka hidupnya akan penuh dengan ketenangan dan kebahagiaan, akan tetapi siapa saja yang tidak mau patuh terhadap peraturan agama Islam, maka hidupnya akan jauh dari ketenangan.

Semoga bermanfaat.

Penulis: Fastabikul Randa Ar-Riyawi

Tags

Posting Komentar