Hukum Membaca Al-Fatihah di Luar Shalat Menurut Ulama | Konsultasi Muslim
Baru-baru
ini Indonesia dibuat heboh dengan pernyataan seorang Syekh yang mengatakan bahwa
membaca Al-Fatihah di luar shalat hukumnya bid’ah dan tidak boleh dilakukan.
Benarkah para ulama melarang membaca Al-Fatihah di luar shalat?
Dalil
bolehnya membaca Al-Fatihah di luar shalat untuk menunaikan hajat:
Dari
Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ
يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ» ثَلَاثًا غَيْرُ تَمَامٍ. فَقِيلَ
لِأَبِي هُرَيْرَةَ: إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ؟ فَقَالَ: «اقْرَأْ بِهَا
فِي نَفْسِكَ»؛ فإنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: " قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ
عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} [الفاتحة: 2]، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي
عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} [الفاتحة: 1]، قَالَ اللهُ
تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}،
قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي - وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي - فَإِذَا
قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} [الفاتحة: 5] قَالَ: هَذَا
بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} [الفاتحة: 7] قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي
مَا سَأَلَ
Barangsiapa
melaksanakan shalat dan di dalam shalat itu ia tidak membaca Umm Al-Quran (Al-Fatihah)
maka shalat itu kurang. Tiga kali. Tidak sempurna (penjelasan periwayat
Hadits). Maka dikatakan kepada Abu Hurairah: ”Sesungguhnya kami berada di
belakang imam.” Maka Abu Hurairah pun berkata: ”Bacalah Al Fatihah sendiri,
sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda: ”Allah Ta’ala
berfirman: “Aku telah membagi shalat antara Aku dengan hamba-Ku dua bagian. Dan
bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia berkata: {الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ}, maka Allah berfirman, ”Telah memujiku,
hambaku.” Dan jika ia berkata: {الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ}, Allah Ta’ala berfirman, ”Telah memuji-Ku
hamba-Ku. Jika ia berkata: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ},
Allah Ta’ala berfirman, ”Telah mengagungkan-Ku hamba-ku.” Dan sekali Ia juga
berfirman, ”Telah menyerahkan kepada-Ku hamba-Ku.” Dan jika ia berkata: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ}, Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah
antara Aku dan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” Jika ia berkata:
{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ}, Allah Ta’ala berfirman: “Ini bagi hamba-Ku apa yang ia
minta.” (HR. Muslim, hadits no. 395).
Dari
Ibnu ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma berkata:
بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ
عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ،
فَرَفَعَ رَأْسَهُ، فَقَالَ: " هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ
لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ، فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ، فَقَالَ: هَذَا
مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الْأَرْضِ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ، فَسَلَّمَ،
وَقَالَ: أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ:
فَاتِحَةُ الْكِتَابِ، وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ، لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ
مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ
Sewaktu Jibril
duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia (Jibril) mendengar
suara (seperti terbukanya pintu), maka ia pun menengadahkan kepalanya, lantas
berkata,”Ini adalah pintu langit dibuka hari ini, ia tidak pernah dibuka sama
sekali, kecuali hari ini.” Lantas turunlah dari pintu itu malaikat.” Jibril
berkata, ”Malaikat ini tidak pernah turun kecuali hari ini.” Lantas ia malaikat
itu pun berkata, ”Aku memberi kabar gembira dengan dua cahaya yang diberikan
kepadamu dan tidak pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelum engkau,
Fatihah Al Kitab dan penutup surat Al Baqarah. Engkau tidak akan membaca satu
huruf pun dari keduanya, kecuali engkau diberinya. (HR. Muslim, hadits no. 806).
Hadits
di atas dijadikan rujukan oleh para ulama yang mengatakan bahwa membaca
Al-Fatihah untuk menunaikan hajat, maka hajat tersebut akan dikabulkan dengan
izin Allah.
Pendapat
ulama tentang hukum membaca Al-Fatihah di luar shalat untuk menunaikan hajat:
1.
Mazhab Syafi’i:
Imam
Jalaluddin As-Suyuthi rohimahullah membawakan sebuah riwayat dari Atho’
sebagaimana disebutkan di dalam kitabnya Ad-Darul Mantsur:
وَأخرج أَبُو الشَّيْخ فِي
الثَّوَاب عَن عَطاء قَالَ: إِذا أردْت حَاجَة فاقرأ بِفَاتِحَة الْكتاب حَتَّى
تختمها تقضى إِن شَاءَ الله
Mengeluarkan Abu Syekh di dalam Ats-Tsawab dari ‘Atho
berkata: Jika engkau menginginkan hajat, maka bacalah Fatihatul Kitab
(Al-Fatihah) hingga sempurna, maka hajatmu akan tertunaikan insyaAllah.
(Ad-Darul Mantsur, jilid 1 halaman 17).
2.
Mazhab
Hanafi
Nuruddin Al-Mulla Al-Hirowi Al-Qory rohimahullah membawakan sebuah
riwayat di dalam kitabnya Al-Asror Al-Marfu’ah:
أَخْرَجَهُ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَفِي كِتَابِ الثَّوَابِ لِأَبِي
الشَّيْخِ ابْنِ حَيَّانَ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ إِذَا أَرَدْتَ حَاجَةً فَاقْرَأْ
بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ حَتَّى تَخْتِمُهَا تُقْضَى إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى
انْتَهَى وَهَذَا أَصْلٌ لِمَا تَعَارَفَ النَّاسُ عَلَيْهِ مِنْ قِرَاءَةِ
الْفَاتِحَةِ لِقَضَاءِ الْحَاجَاتِ وَحُصُولِ الْمُهِّمَّاتِ
Dikeluarkan dari hadits ‘Abdullah bin Jabir rodhiyallahu
‘anhu di dalam kitab Ats-Tsawab oleh Abu Syekh dari ‘Atho berkata: Jika engkau
menginginkan hajat, maka bacalah Fatihatul Kitab (Al-Fatihah) hingga sempurna,
maka hajatmu akan tertunaikan insyaAllahu Ta’ala. Selesai. Ini adalah
asal dari apa yang dikenal manusia dari bacaan Al-Fatihah untuk menunaikan
hajat-hajat dan memperoleh sesuatu yang penting. (Al-Asror Al-Marfu’ah, jilid 1
halaman 253).
3. Mazhab Hanbali
Ibnu
‘Abdil Hadi Al-Hanbali rohimahullah mengomentari hadits di atas di dalam
kitabnya Al-Isti’anah bil Faatihah ‘ala Najaahil Umur:
احْتَجَّ بَعْضُهُمْ مِنْ هَذَا
الْحَدِيثِ عَلَى أَنَّهُ مَا قَرَأَ أَحَدٌ الْفَاتِحَةَ لِقَضَاءِ حَاجَةٍ،
وَسَأَلَ حَاجَتَهُ، إِلَّا قُضِيَتْ
Sebagian dari ulama berhujjah dengan hadits ini bahwa
tidaklah seseorang membaca Al-Fatihah dengan diniatkan agar ditunaikan hajatnya
dan dia meminta hajatnya kecuali akan ditunaikan. (Al-Isti’anah bil Faatihah ‘ala Najaahil Umur, jilid 1
halaman 372).
Imam Ibnul Qoyyim rohimahullah berkata di dalam
kitabnya I’lamul Muwaqqi’in ‘an Robbil
‘Aalamin:
وَكَانَ بَعْضُ السَّلَفِ يَقُولُ
عِنْدَ الْإِفْتَاءِ: سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إنَّكَ
أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ وَكَانَ
بَعْضُهُمْ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ، وَجَرَّبْنَا نَحْنُ ذَلِكَ فَرَأَيْنَاهُ
أَقْوَى أَسْبَابِ الْإِصَابَةِ. وَالْمُعَوِّلُ
فِي ذَلِكَ كُلِّهِ عَلَى حُسْنِ النِّيَّةِ، وَخُلُوصِ الْقَصْدِ، وَصِدْقِ
التَّوَجُّهِ فِي الِاسْتِمْدَادِ مِنْ الْمُعَلِّمِ الْأَوَّلِ مُعَلَّمِ
الرُّسُلِ وَالْأَنْبِيَاءِ - صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ؛
فَإِنَّهُ لَا يُرَدُّ مَنْ صَدَقَ فِي التَّوَجُّهِ إلَيْهِ
Ulama Salaf berdo’a
ketika mengeluarkan fatwa: “Subhanakala
‘Ilma Lana illa Maa ‘Allamtana Innaka Antal ‘Alimul Hakim” (Mereka
menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana). Dan
beberapa dari mereka biasa membaca Al-Fatihah, dan kami mencobanya dan kami
melihat bahwa itu adalah alasan terkuat untuk menjadi benar. Semua
ini bergantung pada niat yang baik, ikhlas tujuannya, dan benar arah dalam mengambil
ajaran dari guru pertama, guru Para Rasul dan para Nabi shalawat dan salam atas
mereka, maka tidak ditolak hajat orang yang benar arah tujuannya. (I’lamul
Muwaqqi’in ‘an Robbil ‘Aalamin, jilid 4 halaman 198).
Ibnu Muflih
rohimahullah menuqil perkataan Imam Al-Marruzi di dalam kitabnya Al-Aadaabu
As-Syar’iyyah wal Manhu Al-Mar’iyyah:
قَالَ الْمَرُّوذِيُّ شَكَتْ
امْرَأَةٌ إلَى أَبِي عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهَا مُسْتَوْحِشَةٌ فِي بَيْتٍ
وَحْدَهَا فَكَتَبَ لَهَا رُقْعَةً بِخَطِّهِ بِسْمِ اللَّهِ، وَفَاتِحَةِ
الْكِتَابِ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ وَآيَةِ الْكُرْسِيِّ
Imam Al-Marruzi
berkata: seorang wanita mengadu kepada Abi ‘Abdillah (Imam Ahmad) bahwanyasanya
dia dia kesepian di sebuah rumah, jadi dia
(Imam Ahmad) menulis untuknya selembar kertas atas nama Allah (Bismillah), Fatihatul
Kitab (Al-Fatihah), dua surat pelindung (pengusir setan) dan ayat kursi. (Al-Aadaabu As-Syar’iyyah
wal Manhu Al-Mar’iyyah, jilid 2 halaman
455).
Berdasarkan
hadits dan pendapat ulama di atas, bahwa membaca Al-Fatihah di luar shalat
untuk menunaikan hajat dibolehkan di dalam Islam. Hanya saja orang yang
mengatakan bid’ah tersebut mungkin kurang membaca pendapat ulama ataupun dia tidak mau
toleransi terhadap orang lain.
Sebagai pendakwah harusnya bijak dalam berbicara, menghormati amalan orang
lain di manapun berada, selama amalan yang dilakukan itu masih ada dalilnya dan
tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Islam itu adalah agama yang mudah
untuk diamalkan, bukan menyulitkan pemeluknya, jadi jangan dibuat rumit dalam
hal apapun.
Para
ulama mazhab sudah mencontohkan bagaimana toleransi dalam masalah furu’iyyah.
Namun ketika dalam masalah ushul, maka para ulama tegas dalam hal itu. Dan
masalah membaca Al-Fatihah di luar shalat untuk menunaikan hajat sebetulnya
termasuk masalah furu’iyyah yang tidak perlu dipermasalahkan. Namun bagi orang
yang tidak mengedepankan toleransi akan membuat hal ini menjadi besar karena
tidak menghormati amalan orang lain dan seolah-olah menganggap amalan yang dia
amalkanlah yang benar.
Sifat
seperti inilah yang perlu diubah dari kaum muslimin, jika ingin menyampaikan
sesuatu, maka perbanyaklah referensi terlebih dahulu agar tidak cepat
menyalahkan amalan orang lain. Semoga kita toleransi dalam masalah furu’iyyah
agar terjalin hubungan yang baik di antara kaum muslimin.
Semoga
bermanfaat.
Penulis:
Fastabikul Randa Ar-Riyawi
Alhamdulillah ternyata ga bid'ah ya ustadz.. terimakasih banyak sudah meluruskan.. baarokallahu fiik
BalasHapusWa laka/laki mitslah
Hapus